
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah gelar acara Silaturahmi Idulfitri, pada Sabtu (12/4). Acara ini merupakan kegiatan halal bihalal yang bertempat di kantor PP Muhammadiyah Cikditiro.
Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Sayuti, MPd, MEd, PhD, mengatakan dalam sambutannya bahwa momen Syawalan ini sangat penting untuk dilakukan. Selain untuk bermaaf-maafan, juga mencari energi baru untuk tugas-tugas persyarikatan mendatang. “Kita ingin melihat intimasi, kedekatan yang lebih bermakna,” ujarnya.
Sayuti juga menyampaikan kegiatan PP Muhammadiyah ada 1644 yang tercatat dan sebagian besar ada di Yogyakarta.
“Muhammadiyah sudah menjadi organisasi global, sehingga rapatnya saja bisa 565 kali. Sebagaimana amanat muktamar, kita ingin organisasi semakin maju, profesional dan modern,” katanya. Ia mengungkapkan bahwa ini merupakan kerja keras dan keinginan untuk melaksanakan muktamar.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr H Haedar Nashir, MSi, turut menyampaikan hikmah silaturahmi dalam acara tersebut.
“Kami atas nama PP Muhammadiyah secara institusi dan saya pribadi menyampaikan mohon maaf lahir dan batin. Mudah mudahan puasa kita dengan sekuruh ibadah kita di bulan Ramadhan dan idul fitri dan setelahnya diterima,” ucapnya.
Haedar menegaskan untuk terus berkiprah dengan lebih intens dan menggerakkan Muhammadiyah-‘Aisyiyah lebih maju lagi.
“Silaturahmi ini tidak lepas dari aktivitas beribadah. Sehingga syawalan terkait dengan ibadah-ibadah kita yang memerlukan penghayatan makna mendalam, sekaligus transformasi nilai ibadah yang berfungsi untuk menggerakkan energi baru dalam ber-Muhammadiyah,” ujarnya.
Menurut Haedar kegiatan silaturahmi atau syawalan tidak lepas dari spirit ajaran Islam yakni silaturahmi. “berapa kali kita syawalan sebagai aktivitas keagamaan yang berbekas pada diri kita untuk melakukan proses transformasi didalam yang melahirkan energi dari dalam tadi. Kalau berjalan di tempat berarti tidak ada kemajuan, tetapi jika ada perubahan yang signifikan disitulah pertanda bahwa puasa dan silaturahmi dengan seluruh rangkaian ibadah kita berkemajuan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, hikmah silaturahmi yang diproleh ialah rahmat Allah. Rahmat Allah tidak akan turun bagi yang memutuskan silaturahmi. Menghubungkan persaudaraan baik yang senasab sebagai prioritas eksklusif, maupun relasi di luar nasab merupakan panggilan kerahmatan untuk menyebar nilai luhur yang hidup dalam diri dan hasil dari pengahayatan keislaman untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Menghubungkan persaudaraan bukan hanya yang sudah berjalan biasa, tetapi juga yang sudah terputus. “Jadi bisakah kita merajut sesuatu yang sudah terputus untuk melahirkan energi persaudaraan kita lebih positif lagi supaya tidak stagnan? Maka menjadi sangat penting bagi kita mentransformasikan silaturahmi itu bukan hanya eksklusif didalam diri lingkungan terbatas kita, tetapi juga yang lebih luas di persyarikatan, kebangsaan, keummatan dan semesta,” tukasnya.
Dalam persyarikatan, tidak mudah menjalin silaturahmi ketika terdapat perbedaan pandangan baik yang dilatarbelakangi oleh persepsi maupun kepentingan yang berbeda. Ketika titik-titik kritis berbeda, harapannya sifat silaturahmi tetap menjiwai. Misalnya dalam ketegangan tinggi, tetap dapat berlemah lembut dan berbahasa yang elegan.
“Seseorang melekat dengan dirinya, dirinya dengan habitusnya, habitus terkait dengan apa yang ada di dalam struktur hanidiyah. Maka disebutkan dalam Ali-Imron ayat 104, satu ciri dari orang yang bertakwa itu menahan amarah. Dan jika terus mengikuti amarah, maka silaturahmi belum menjadi jiwa kita,” katanya.
Haedar juga mengatakan bahwa keutuhan Muhammadiyah karena adanya pranata institusi musyawarah. “Ketika suatu organisasi harus mengambil keputusan, maka sudah, ikhlas melepas yang ada dalam diri kita. Gantinya adalah rahmat dan barokah Allah. Setidaknya rahmat Allah mendidik diri kita untuk tidak terus seperti itu. Disitulah pemaknaan tentang silaturahmi,” pungkasnya.
Dalam hal ini haedar menjelaskan maksud dari persyarikatan adalah tempat berhimpunnya seluruh anggota Muhammadiyah melalui sistem musyawarah dan jam’iyat, yang dimuat di Suara Muhammadiyah tahun 1929.
Dalam muktamar Muhammadiyah, kuncinya yaitu transformasi. Yakni menjadikan Muhammadiyah itu professional, modern dan solidaritas produktif. (Tia)