Suratekno.com – Tahun 2022 akan segera berakhir. Di tahun ini, berbagai insiden misalnya perang Rusia-Ukraina dan penguncian Covid-19 di China telah membawa perekonomian global dalam jalur kerikil.
Lalu, bagaimana menggunakan tahun 2023? Apakah ekonomi global akan melalui kerikil yang lebih berat?
Berikut 5 ramalan ekonomi global di tahun 2023 seperti dikutip Al Jazeera, Kamis (29/12/2022).
1. Inflasi dan Suku Bunga
Inflasi diperkirakan akan menurun secara dunia dalam tahun 2023 tetapi permanen sangat tinggi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi global akan mencapai 6,5% tahun depan, turun berdasarkan 8,8% dalam 2022.
Negara-negara berkembang diperkirakan akan mengalami penurunan yg lebih sedikit, dengan inflasi diproyeksikan hanya turun menjadi 8,1% dalam tahun 2023.
“Kemungkinan inflasi akan tetap lebih tinggi dari dua persen yg ditetapkan sebagian akbar bank sentral Barat menjadi tolok ukur mereka,” istilah dosen ekonomi senior pada Universitas Sheffield Hallam, Alexander Tziamalis, kepada Al Jazeera.
“Energi & bahan baku akan tetap mahal buat beberapa saat. Pembalikan parsial globalisasi berarti impor yg lebih mahal, kekurangan tenaga kerja di banyak negara Barat menyebabkan produksi lebih mahal, dan langkah-langkah transisi hijau buat memerangi ancaman terbesar yg dihadapi spesies kita semuanya mengarah pada inflasi yg lebih tinggi daripada yg biasa kita alami selama 2010-an,” jelasnya.
2. Resesi
Sementara pertumbuhan harga diperkirakan akan mereda pada tahun 2023. Namun pertumbuhan ekonomi niscaya akan melambat tajam seiring dengan kenaikan suku bunga.
IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh hanya 2,7% pada 2023, turun berdasarkan 3,dua% pada 2022. OECD memproyeksikan kinerja yg kurang tinggi tahun ini menggunakan pertumbuhan dua,dua%, dibandingkan menggunakan 3,1% dalam 2022.
Banyak ekonom lebih pesimis & percaya resesi global kemungkinan akbar terjadi pada tahun 2023, hampir 3 tahun setelah penurunan yg disebabkan oleh pandemi.
Dalam sebuah goresan pena bulan kemudian, pemimpin redaksi The Economist, Zanny Minton Beddoes, melukiskan gambaran suram yang diringkas menggunakan judul artikel yang tegas: “Mengapa resesi dunia tidak terhindarkan pada tahun 2023”.
Bahkan bila ekonomi global secara teknis tidak jatuh ke pada resesi, kepala ekonom IMF yang terbaru memperingatkan bahwa tahun 2023 mungkin masih terasa misalnya satu buat poly orang karena kombinasi dari pertumbuhan yang melambat, harga tinggi, & kenaikan suku bunga.
“Tiga ekonomi terbesar, Amerika Serikat (Alaihi Salam), China, & tempat euro, akan terus terhenti,” istilah Pierre-Olivier Gourinchas dalam Oktober. “Singkatnya, yg terburuk belum datang, dan bagi poly orang, 2023 akan terasa seperti resesi.”
3. Pembukaan Kembali China
Setelah 3 tahun melakukan protokol penguncian dan pengujian Covid-19 yang ketat, China awal bulan ini memulai proses melonggarkan kebijakan nol-Covid yang kontroversial setelah protes massal warga . Dengan pembatasan ‘kejam’ pada pada negeri yang sudah berlalu, perbatasan internasional China akan dibuka kembali mulai 8 Januari.
Pembukaan pulang ekonomi terbesar ke 2 di dunia, yang telah melambat secara dramatis selama setahun terakhir, seharusnya menyuntikkan momentum baru ke pada pemulihan global. Rebound permintaan konsumen China akan memberikan dorongan bagi eksportir primer seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, & Singapura.
Sementara berakhirnya pembatasan menawarkan donasi pada merek dunia dari Apple sampai Tesla yg mengalami gangguan berulang kali di bawah kebijakan nol-Covid. Pada waktu yang sama, perubahan cepat ini membawa resiko yang mengintai.
Saat ini, tempat tinggal sakit di semua China sudah dibanjiri pasien. Selain itu, kamar mayat & krematorium dilaporkan kewalahan dengan masuknya jenazah.
Beberapa pakar medis memperkirakan bahwa China dapat melihat hingga 2 juta kematian dalam beberapa bulan mendatang. Selain itu, para ahli jua menyatakan keprihatinan tentang munculnya varian baru yang lebih berbahaya.
“Kecuali pembukaan yg sangat mengganggu ini, aku pikir pasar akan berkembang dengan baik,” istilah Kepala Ekonom Natixis untuk Asia Pasifik Alicia Garcia-Herrero.
“Saya akan berkata begitu orang melihat ujung terowongan, jadi mungkin akhir Januari, akhir Tahun Baru China, aku beropini waktu itulah pasar sahih-benar akan membaca pemulihan ekonomi China yg cepat,” tambahnya.
4. Kebangkrutan Massal
Terlepas berdasarkan kehancuran ekonomi yg ditimbulkan sang pandemi Covid-19, kebangkrutan sebenarnya menurun di banyak negara pada tahun 2020 & 2021. Lantaran kombinasi pengaturan pada luar pengadilan menggunakan kreditur dan stimulus pemerintah yg akbar.
Di AS, contohnya, 16.140 usaha mengajukan kebangkrutan dalam tahun 2021, dan 22.391 bisnis melakukannya dalam tahun 2020. Ini lebih rendah dibandingkan menggunakan 22.910 pada tahun 2019.
Tetapi, tren itu diperkirakan akan pulang berbalik pada tahun 2023 di tengah kenaikan harga energi & suku bunga. Allianz Trade memperkirakan bahwa kebangkrutan secara dunia akan meningkat lebih menurut 10% pada tahun 2022 & 19% dalam tahun 2023, melampaui tingkat sebelum pandemi.
“Pandemi Covid memaksa banyak bisnis buat merogoh pinjaman besar , memperburuk situasi ketergantungan yang semakin tinggi dalam pinjaman murah buat menutupi hilangnya daya saing Barat karena globalisasi,” kata Tziamalis.
5. Globalisasi Terganggu
Upaya buat memutar pulang globalisasi sepertinya akan terus berlanjut pada tahun 2023. Sejak diluncurkan di bawah pemerintahan Trump, perang perdagangan & teknologi Alaihi Salam-China semakin pada di bawah Presiden Alaihi Salam Joe Biden.
Pada bulan Agustus, Biden menandatangani CHIPS & Science Act yang memblokir ekspor chip sophisticated dan alat-alat manufaktur ke China. Ini bertujuan Mengganggu perkembangan industri semikonduktor China & memperkuat swasembada dalam pembuatan chip.
Pengesahan undang-undang tadi hanyalah contoh terkini menurut tren yang berkembang berdasarkan perdagangan bebas & liberalisasi ekonomi menuju proteksionisme & swasembada yg lebih akbar, terutama pada industri kritis yg terkait dengan keamanan nasional.
Dalam pidato awal bulan ini, Morris Chang, pendiri Perusahaan Manufaktur Semikonduktor Taiwan (TSMC), penghasil chip terbesar di dunia, menyesalkan bahwa globalisasi dan perdagangan bebas sudah berada pada tahapan yang hampir tewas.
“Barat, dan khususnya Alaihi Salam, semakin terancam oleh lintasan ekonomi China & merespons dengan tekanan ekonomi dan militer terhadap negara adikuasa yang baru muncul itu,” istilah Tziamalis.
“Perang eksklusif atas Taiwan sangat tidak mungkin namun impor yang lebih mahal & pertumbuhan yang lebih lambat buat semua negara yang terlibat dalam perang dagang ini hampir pasti,” tegasnya.